Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.

SeluetChimoet

Selamat mengikuti perjalanan kata Chimoet ea..... jangan pernah bosan. Dan ingat! Saya masih belajar, jauh dari kesempurnaan. Dan semoga tulisan-tulisan saya berguna bagi sobt semua,,, ^_^

Entri Populer

Rabu, 27 April 2011

Cerpen Bersejarah Qoe....

Aq ingin semua orang tau,,,kalau ini adalah cerpen pertama ku yang memberikan kenangan terbaik padaku. Memenangkan lomba menulis cerpen bertema Islam sebagai juara I n diterbitkan di salah satu koran lokal Sumbar. Tapi sayangnya, setelah ini tak adalagi.

Helaan Nafas di Atas Sajadah

Sekelebat terlihat seorang Pak Tua. Keadaannya hampir sama dengan pondok reotnya. Badannya kusut kering. Kulitnya yang terbakar sudah kendor. Bergaris di sana- sini. Bajunya pun seperti baju pekerja kasar, awalnya berwarna putih namun sekarang tampak seperti lumpur sawah. Namun matanya masih seperti dulu, bersih dan masih dapat melihat jelas. Dan ketika ia tersenyum masih tampak gigi putihnya berbaris tinggal 3 di atas dan 4 di bawah.
Ia berjalan menelusuri jalan yang terbentuk di antara semak-semak di depan pondoknya itu. Tampaknya menuju sawah yang saban hari tak kunjung selesai dikerjakannya.
Pondok tua itu ditinggal begitu saja. Ia tak peduli. Kalaupun ada pencuri, sudah tak ada peralatan untuk bekerja yang dapat diambil pencuri. Mulai dari parang, sabit, cangkul bahkan alat yang biasa digunakan untuk dia membajak sawah pun sudah berkarat. Siapa yang mau.
Dulu pondoknya lain. Sekarang mulai condong. Penyangga dari bambu yang berwarna kecoklatan pudar mulai tak kuasa menahannya. Hampir rubuh kalau-kalau disenggol anjing Mak Kayo yang datang mengendus-endus di antara semak di sekitar pondok. Daun beringin rindang di tepi ngarai pun membuat halamannya semakin merimba. Belum lagi rumput-rumput yang tumbuh tanpa segannya, walau tak pernah diharapkan.
Ia tak pernah merisaukan hidupnya, tak salat dan tak permasalahkan soal tuntutan agama namun ia hanya berkeinginan untuk tetap dijenguk oleh anak dan cucunya.
“Tak perlu Bapak ada di rumah ini lagi. Untuk menghidupi aku dan anak-anakku saja suamiku sudah tak sanggup,” kata-kata itu selalu terngiang di telinganya yang mulai tak berfungsi lagi.
Semenjak kata-kata itu keluar dari mulut anak sulungnya, ia memilih untuk menghuni pondoknya di tepi ngarai di persawahan tempat ia biasa menanam padi untuk menghidupi anak dan mendiang istrinya. Pondok yang dulu masih berdiri megah di antara pondok-pondok lain yang ada di persawahan itu kian hari makin menua, seiring dengan  menuanya usianya. Dan tak ia sadari, ia pun sudah 10 tahun tinggal di pondok itu. Dan usianya sudah kepala 7. Usia yang sulit ditemukan di zaman modern seperti saat ini. Tak pelak kalau sudah tak ada lagi tenaganya untuk sekedar membersihkan halaman dan pondok itu. Itu pun menjadi salah satu alasan ia tak lagi menginjakkan kaki ke mesjid bahkan sekedar melaksanakan salat wajib saja kakinya tidak kuat “katanya”. Sisa-sisa tenaga hanya digunakannya sedikit demi sedikit untuk mengolah sepetak sawah yang sudah dua bulan tak jua dapat ia selesaikan. Dibersihkan sisi kanan, sisi kirinya sudah merimba. Begitu sebaliknya.
            “Gaek, berhenti dulu,” sorak Mak Kayo dari ujung petak sawah yang dikerjakannya.
Mak Kayo adalah orang terdekat yang pondoknya berada sekitar 100 meter dari pondok Gaek. Gaek biasa ia dipanggil. Di Minang gaek itu berarti tua, sesuai dengan keadaannya. Mak Kayolah yang selalu membagi jatah makan siang kepadanya. Biasanya Mak Kayo memang selalu meminta istrinya membungkus nasi lebih agar bisa ia bagi dengan Gaek.
Gaek yang lelah langsung menuju Mak Kayo, selain untuk menjawab teguran Mak Kayo juga untuk mengambil kantong asoi yang dibawa Mak Kayo untuknya. Itu jatah makan siangnya. Dia biasa makan satu kali saja sehari.
***
“Bapak makan saja nasi dingin di atas meja itu, nasi yang baru masak itu untuk suamiku,” kata Sutinah ketus kepada Gaek.
“Aku tidak bisa makan nasi keras itu Sutinah, kau kan tau kalau aku sudah tak punya gigi lagi untuk mengunyah.”
“Bapak memang bisanya cuma merepotkan saja. Untung Mak sudah tidak ada, kalau tidak berlipat ganda yang akan merepotkan ku.”
“Ya Allah, kenapa kau berkata begitu Sutinah? Bukankah Emak yang telah melahirkan kau dan adikmu ke dunia ini. Kan sudah kau rasakan susahnya melahirkan. Bertaruh mati.”
Sutinah diam. Namun tak berarti ia tersadar dengan perkataan Bapaknya.
“Dan aku, aku yang berjuang melawan panas dan hujan untuk dapat menghidupimu dan adikmu.”
“Aku tak pernah minta dilahirkan,” hardik Sutinah.
Kata-kata itu seakan membuat semua yang mendengar terdiam. Bahkan bunyi angin yang berhembus pun menjadi berisik. Gaek berpikir, apakah membesarkan anak yang dititipkan ilahi adalah kesalahan? Batinnya tak mampu diam.
Gaek pun takut, masuk ke bilik 2x2 yang terletak di samping dapur di bagian belakang rumah. Seperti tempat barang rongsokan saja. Gaek tak pernah merisaukan kenapa ia diletakkan di ruangan yang biasa digunakannya untuk menyimpan perkakas untuknya bekerja di sawah dulu. Ketika dia menjadi orang yang disegani karena selalu menyumbangkan beras kepada fakir miskin tiap tahunnya.
“Ada apa lagi Sutinah?” tanya Menan suaminya saat sampai di rumah.
“Kenapa selalu saja ada keributan di rumah ini?”
“Aku kesal dengan Bapak, dulu dia yang memaksa aku menikah dengan suami sepertimu, bahkan aku dipasung agar tak lagi bertemu dengan kekasihku yang jauh lebih kaya darimu. Dan sekarang aku harus menjadi tukang cuci untuk menambah kekurangan gajimu sebagai garin yang jauh dari cukup itu.”
“Astagfirullahal azim, kenapa aku pula yang jadi kau maki-maki Sutinah? Bukankah aku cuma meminta agar tak adalagi keributan di rumah ini? Dia ayah mu.”
“Semuanya memang saling bertali-tali kan? Dan tak perlu aku jelaskan lagi.”
Gaek mendengar perkataan Sutinah dan menantunya dari bilik berukuran 2x2 sambil berbaring di atas dipan yang sudah reot. Itulah yang paling ditakuti Gaek. Punya anak perempuan yang sangat keras kepala. Sedangkan adiknya si Baron tak kunjung pulang semenjak meninggalkan rumah untuk merantau ke Jakarta. Gaek masih ingat kalau saat pergi, si Baron berusia 20 tahun dan ia berusia 50 tahun namun sakit-sakitan sehingga tak bisa bekerja.
Gaek tak dapat menyesalkan yang terjadi. Sutinah, anak sulungnya itu dulu suka huru-hara tak menentu, melalaikan salat padahal dia sudah menyekolahkan anaknya di sekolah agama, gonta-ganti pacar, dan berteman dengan orang-orang berandalan. Masyarakat kampung pun selalu mempergunjingkannya. Bahkan untuk memperlihatkan mukanya kepada masyarakat pun Gaek sudah tak berani lagi. Saking malunya ia dengan perangai anak gadisnya. 
Sutinah begitu karena tidak ada ibunya yang mengayominya. Dan Gaek sibuk mengurusi kekayaan serta sawah yang berhektar-hektar. Mengurus penyaluran beras ke fakir miskin dan panti asuhan.
”Mengherankan juga kenapa bisa anak dari seorang juragan tanah yang baik hati dan taat agama itu bisa membelakangi kiblat,” sentilan semacam itu sering keluar dari mulut para tetangga. Hal itu terjadi ketika Sutinah tertangkap basah di sudut taman desa sedang bercumbu dengan seorang pria. Masyarakat begitu geram dibuatnya. Kemudian Gaek memasung Sutinah dan lantas menikahkannya dengan seorang garin desa. Namun setelah peristiwa itu, kesehatan Gaek menurun tajam. Kekayaan dimakan oleh biaya pengobatannya. Dan yang tinggal hanya rumah dan sepetak sawahnya. Bahkan iman dan agamanya pun dibawa lalu oleh penyakitnya itu. Gaek pikun akan agamanya.
Sekarang ia hanya bisa menyesalkan dirinya yang tak dapat menanamkan agama di dada anaknya serta menjadi ayah dan ibu yang baik untuk anak-anaknya.
“Kenapa Tuhan terlalu cepat mengambilmu Aminah?”
“Walaupun kau telah berganti tempat dengan Baron, namun aku tak kan sanggup kehilanganmu. Dan sekarang aku tak mampu menjaga anak-anak kita, bahkan untuk memberi mereka makan pun aku susah,” lirih Gaek.
Rasa menyesal Gaek menjadi pecahan beling di dadanya. Sudah tak adalagi tenaganya untuk bekerja. Makanya Sutinah merasa tak sanggup untuk menghidupi Bapaknya yang hanya sebatang kara itu.
***
Malam itu, semua sudah hening. Cuma terdengar suara lolongan anjing di halaman rumah. Gaek masih meringkuk di bilik kecil di samping dapur tanpa selimut. Sambil menahan dinginnya udara dan menahan perut yang masih saja meronta meminta sesuap nasi. Sejak kemarin malam Gaek belum makan. Pasalnya ia tak sanggup menahan kata-kata Sutinah saat ia mau mengambil nasi. Sedangkan nasi dingin, sudah diambil Menan untuk makanan anjing, yang tinggal hanyalah nasi yang baru dimasak Sutinah, yang asapnya masih mengepul dan baunya yang wangi menyengat hidung. Gaek begitu takut untuk mengambil nasi itu. Ia lebih baik menahan laparnya dengan berbaring tidur di bilik mungilnya.
Namun malam itu Gaek benar-benar tak tahan lagi. Dia merangkak menuju dapur untuk mencari sesuap nasi. Agaknya tikus-tikus juga sedang mengikuti jejaknya. Berusaha keluar untuk mencari makanan. Ketika dilihat Gaek, di atas meja tak ada lauk sama sekali. Dibukanya periuk nasi. Tinggal sebongkah nasi yang keras dan sedikit menghitam karena gosong. Dirogohnya nasi itu untuk dipindahkan ke piring yang sudah dipegangnya. Dan tak sengaja, tangannya menyenggol tutup periuk sehingga jatuh ke lantai dan juga membawa serta gelas jatuh.
“Prak!”
Gelas itu pecah berkeping-keping dan gelindingan tutup periuk menambah keriuhan malam itu. Sutinah terkejut alang kepalang. Langsung bangun dan menuju dapur. Ketika dilihatnya Gaek sedang di dapur dan menjadi penyebab keributan itu, Sutinah pun marah alang kepalang. Sampai ke ubun-ubun darahnya.
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” tanya Sutinah membelalakkan mata.
“Lihat! Gelas ku pecah. Dan Bapak sudah membuat tidur ku terganggu.”
“Bapak cuma bisa bikin susah!”
Gaek hanya diam. Menahan sumpah serapah darah dagingnya.
“Tak perlu Bapak ada di rumah ini lagi. Untuk menghidupi aku dan anak-anakku saja suamiku sudah tak sanggup.”
Gaek terhentak mendengar perkataan Sutinah.
“Coba kalau masih ada Baron di rumah ini, pasti setidaknya masih ada yang akan membelanya” Gaek membatin.
“Bapak akan pergi Sutinah tapi tidak malam ini, biarkanlah Bapak menunggu pagi di rumah ini dulu.”
“Terserah Bapak, pokoknya ketika bangun besok aku tak mau lagi melihat wajah Bapak di rumah ini.”
Sutinah pun berlalu meninggalkan Gaek. Gaek terdiam. Matanya basah. Dadanya dipenuhi tancapan peniti kecil.
”Allah benar-benar tak adil, sia-sia saja selama ini aku taat pada-Nya. Namun apa yang aku punya diambil-Nya. Istri, anak-anak.....semuanya,” seketika Gaek menjadi teman setan. Tak adalagi iman di dadanya untuk melawan setan itu.
***
            Gaek tersentak, tak perlu lagi ia menyesali yang terjadi. Namun bayangan kejadian itu tetap saja hadir di setiap malamnya. Mungkin karena tak ada penghuni lain selain ia dan peliharaan pak tani yang ditinggal.
Gaek pun menutup mata, memaksakan untuk ia bisa merasakan tidur indah. Gaek ingin sekali tertidur pulas, seperti yang ia rasakan saat masih ada istrinya dan hidupnya masih berkecukupan.
            Setelah adzan subuh ketika pagi menjelang. Gaek mendengar teriakan Mak Kayo memanggilnya.
            “Gaek sudah bangun? Hari sudah pagi Gaek”
            Gaek keluar.
            “Aku sudah bangun dari tadi Kayo. Kenapa pagi sekali kau datang hari ini Kayo?”
            “Aku sengaja datang pagi-pagi. Istriku membuat lontong gulai dan ia ingin Gaek mencicipinya.”
            “Terima kasih. Kalian baik sekali. Tapi sudah lama juga aku tak melihat istrimu. Kenapa dia jarang sekali datang ke sini Kayo?”
            “Istriku sekarang berjualan di pasar, pulangnya sudah sore hari. Ia tak punya waktu lagi untuk ke sawah ini Gaek. Namun istriku itu selalu berpesan agar Gaek bisa menghabiskan hari tua Gaek untuk bersujud kepada Allah. Walau sesering apapun aku mengatakannya, tak pernah Gaek indahkan.”
            “Tak apalah, bagus kan untuk membantu keuanganmu. Agar kelak kau tak jadi penyesalan bagi anak-anakmu,” hanya itu yang terlontar dari mulut Gaek.
Mak Kayo paham sekali dengan apa yang dimaksud Gaek. Gaek sudah pernah bercerita soal itu. Itulah sebabnya kenapa Mak Kayo selalu memberi Gaek makanan dan mengingatkan gaek akan Allah. Mak Kayo tak ingin Gaek meninggal tersia-sia begitu saja. Pernah Mak Kayo menawarkan untuk tinggal di rumahnya, namun Gaek menolak. Gaek tak ingin merepotkan.
Gaek pun duduk di pematang. Mengajak Mak Kayo berbincang-bincang.
“Hari masih pagi, aku ingin sekali berbincang-bincang denganmu Kayo.”
“Mmmmmmm” Mak Kayo tersenyum mendengar penuturan lelaki tua itu.
“Kenapa Gaek berkata seperti itu. Sesungguhnya saya mau kapan saja bersenda gurau dengan Gaek. Tapi apalah daya, pekerjaan dan tuntutan hidup yang memaksa.”
“Tidak, saya hanya ingin sekali berbicara denganmu hari ini Kayo.”
“Bicara apa Gaek?”
“Hidup itu tak mudah. Terkadang kita harus berjuang dan mempertaruhkan sesuatu. Dan aku telah gagal untuk itu. Bahkan untuk membawa anak gadis ku menjadi orang yang baik saja aku tak bisa. Begitu pula anak lelaki ku. Mungkin karena terlalu malu mendapat ayah seperti aku makanya dia pergi begitu saja. Aku tak mampu menghidupi mereka. Karena penyakit yang datang silih berganti. Demam lah, usus buntu, alergi, dan tangan ku juga pernah mati sebelah. Tapi kenapa umurku masih panjang juga. Semakin lama aku semakin menjadi seseorang yang memuakkan bagi anak ku. Mungkin aku sudah harus mengakhirinya.”
“Gaek tak boleh berkata begitu. Bukankah hidup adalah perjuangan. Allah memberikan cobaan untuk menguji ketaatan hamba-Nya. Dan Gaek yang dulu terkenal sangat agamais bisa jatuh dengan cobaan sedikit saja dari Allah. Mana pengajian yang selama ini Gaek junjung? Dan menurut saya, anak Gaek yang semestinya menyesal telah menyia-nyiakan Gaek.”
Gaek hanya terdiam. Mengelap sebagian peluh yang mengucur di dahinya. Kemudian memegangi tangan yang sepertinya terasa sakit olehnya.
Gaek menghela nafas panjang. Dia seperti berat untuk mengatakan sesuatu.
“Jika nanti aku tak ada, aku ingin kau memberikan kotak yang ku simpan di pondokku itu kepada anakku Sutinah dan Baron. Aku harap setidaknya mereka mau menerima itu.”
“Apa itu?”
“Tak perlu kau tahu sekarang. Nanti saja setelah aku tak ada. Aku harap kau mau melakukannya.”
Gaek menenggak air ludah yang semakin pahit di mulutnya. Kemudian dia menekur. Tak memandang Mak Kayo barang sedetik pun. Dan Mak Kayo hanya menatapi Gaek dalam-dalam. Tak mengerti apa yang ada di benak lelaki tua itu.
“Oh ya, terima kasih juga atas semua kebaikan mu dan keluargamu. Mudah-mudahan Tuhan itu benar-benar ada untuk membalasnya. Sedangkan aku tak dapat memberikan apa-apa.”
“Sudahlah Gaek tak baik bicara hal-hal seperti itu. Saya menganggap Gaek seperti orang tua sendiri.”
“Hari pun telah siang Gaek, sebentar lagi adzan Zuhur. Lebih baik kita salat. Barangkali itu bisa menghilangkan gundah gelisah Gaek.”
Gaek tersenyum.
“Entahlah Kayo aku sendiri tak paham dengan apa yang aku pikirkan. Aku tidak percaya pada Tuhan. Dia tidak pernah ada bukan? Mmm Gaek menghela napas panjang. ”Mungkin karena aku telah lelah,” Gaek melontarkan kata-kata itu di ujung kalimatnya.
Gaek berlalu meninggalkan Mak Kayo menuju pondok reotnya itu. Pondok tua setua dirinya yang sangat butuh penyangga.
***
Siang itu, matahari di atas kepala. Adzan berkumandang menemani matahari meninggalkan puncaknya. Mak Kayo kemarin tidak ke sawah lantaran anaknya sakit. Mak Kayo langsung berteriak memanggil Gaek seperti biasanya. Namun tak lagi ada sahutan.
Sepertinya semua daun berguguran, membuat pondok Gaek semakin kumal dan kotor. Tak seperti ada penghuninya. Kembali Mak Kayo berteriak memanggil Gaek. Makanan ini sudah dingin agaknya jika Gaek terlalu lama menyantapnya.
“Gaek, ambil lah makanan ini. Apa Gaek tidak lapar?”
Tak jua ada sahutan.
”Allahuakbar Allahuakbar Laailahaillallah....”
Kumandang adzan yang menyahut lantang, namun masih juga belum bisa menjadi penyadar bagi Gaek untuk dapat menuju sujud sebenarnya.
Sedangkan sajadah kumal satu-satunya miliknya berada di bawah tubuhnya yang sudah tak berarti lagi.
Seluet_chimoet, September 2008

Selasa, 26 April 2011

Sedikit Cerita di Kampung Betung

"Betung oh Betung"

Selasa, 26 April 2011

Berlokasi di Serasah Rimba, atau kami menamainya 'Betung' agak kerenan dikit. aq sudah menginjakkan kaki di sana sekitar setahun lebih 4 bulanan. Waktu yang lumayan lama terasa. Kenapa aku bisa sampai ke kampung itu, ceritanya panjang sekali. Tak cukup waktu sejam dua jam untuk menuliskannya. Mungkin di lain kali akan aku tuliskan biar orang tau kisah sedih,bahagia, terharu, kesal dan nano-nano ku. hah...lupakan!
Awalnya aku merasa menjadi seekor kura-kura yang berkutat di bawah tempurung yang teramat berat. Konon kata orang tempurungnya itulah yang membuat jalannya terseok-seok, entahlah. Aku belum sempat mewawancarai si kura-kura itu secara ekskusif. Hidup dalam segala kesederhanaan dan kemanualan membuatku waktu itu terpaksa menelan ludah saja. apa mau dikata. mulai dari mandi di tempat terbuka dengan menggunakan basahan (orang menyebutnya 'kain samping'), mengambil air dengan katrol menggunakan tali yang teramat panjang dan ember yang memberatkan, menggunakan lampu minyak_yang membuatku mesti rajin-rajin membersihkan lubang hidungku. HITAM! auch.... Aku sempat benar-benar syok dengan yang satu ini. konon, ketika aku bangun pagi-pagi, aku ngupil. eh gak taunya yang ada di tanganku adalah noda hitam. Sontak aku heran. "Kenapa bisa ya?" Setelah ditanya barulah aku tahu kalau itu pengaruh dari lampu minyak yang aku gunakan di kamar terlalu besar apinya. ckckckck
Selain itu, ada yang lebih parah. Aku mesti bersahabat dengan tempurung, dengan 'bara', dengan setrika besi berat entah berapa kilo, serta kipas kertas yang mesti aku kibaskan untuk mengeluarkan hangatnya..... Kayak memanggang sate aku waktu itu. Sekali seminggu aku berkutat dengan bahan-bahan itu. Ditemani juga dengan peluh yang menganak sungai. Sumpah, semua urat-uratku keluar. Dan kalau tidak hati-hati dia bisa saja mencium baju-baju ku dengan bibir merah hangat membaranya. Terciptalah lobang mengesalkan. hahaha
"nasib....nasib," ujar ku saja. 
Tapi jujur. Lama-lama aku terbiasa dengan keadaan itu. Keadaan yang semuanya mesti manual. Semuanya serba dengan tangan. Serasa aku terlahir ke era 60-an. Hmmmm
Mungkin dulu orang tuaku hidup seperti ini. Mungkin juga orang tua teman-temanku. Tapi rasanya, sulit diterima karena katanya Indonesia adalah negara berkembang yang kaya. Tapi tak disangka tak dinyana, ada juga titik-titik daerah yang masih sangat tertinggal. Untung saja mereka sudah mengenal diesel. Jadi setiap jam 19.00-24.00 malam ada beberapa rumah_yang pemiliknya tergolong berada_ yang terang benderang dengan cahaya lampu. Di samping rumahnya pastilah berdiri warung kayu, yang pukul 18.00 Wib saja sudah dipenuhi penduduk kampung berdesakan untuk menyaksikan film sinetron kesayangan mereka. Ingat! hanya untuk film sinetron. Mereka jarang menyaksikan berita, wawancara, atau informasi lainnya. Mereka tak terbiasa. Dapat menonton Shiren Sungkar saja itu sudah sangat cukup bagi mereka. Dan keadaan itu membuatku ikut-ikutan haus hiburan juga. "Biarlah, setidaknya aku melihat juga perkembangan tampang-tampang seleb Indonesia. Tambah cantik atau bagaimana," seloroh ku. Kesempatan ini ku lakoni dengan memanfaatkan jendela di tepi kamar yang berada di samping warung itu. Jika jendelanya dibuka, maka akan tampak tivi 24 inci dari arah samping. "Lumayan lah." Kalau saat itu difoto aksiku menonton 'mancogok-cogok' di pintu dan di upload ke facebook mungkin akan tertawalah teman-temanku. hahahahah
Tapi sekarang berbeda. Aku tak betah berlama-lama dengan keadaan itu. Untung saja, sebelum Bupati lama lengser dari jabatannya, kepemerintahannya sempat memperbaiki jalan sekitar bulan Oktober 2010. Perbaikan jalan yang menurutku sudah bagus. Sudah lebih baik dari yang saat pertama aku menginjakkan kaki di sana.Padahal kalau menurut kalian (pembaca) mungkin belum apa-apa. Maklum, jalanan berpasir, yang terkadang muncul batu-batu besar, dan di beberapa titik berlubang, juga tergenang air tatkala hujan. Dan ada juga titik yang akan licin jika terkena hujan sedikit saja, maklum tanahnya tanah liat, belum terkena pasir. Dan jalan ini sepanjang kurang lebih 3 km dari jalan aspal. Di kanan dan kirinya kebun sawit, kebun karet. Sangat sunyi.
Aku berani. Aku yakinkan diri. Aku harus melanjutkan apa yang selama ini ingin ku capai. 'JADI PENULIS'!  MENERBITKAN BUKU KUMPULAN CERPEN.
"Aku tak bisa diam saja, jika ditunggu tetaplah aku akan menjadi kura-kura saja," yakinku. Ku pikir di mana pun aku tinggal pasti ada positif dan ada negatifnya. Dan tidak akan ada yang sempurna. "Jika dapat yang dihati, pasti tak dapat apa ingin hati". Itu adalah hukum alam.
Jika masih berbetah di Betong, maka aku akan tetap jadi kura-kura, mengubur semua keinginanku, apa yang telah ku pelajari selama ini di SKK Ganto (tempat dulu ku dididik menulis). Namun dengan ketenangan, tidak susah menempuh perjalanan, hanya jalan kaki saja ke sekolah sekitar 5 menit.
Namun, jika jadi kuturutkan hati besar ku, maka aku akan 'bebas'. Aku akan mengejar cita ku, menulis, mendapat perkembangan informasi, dan melihat dunia luar. Dengan konsekuensi aku mesti menempuh perjalanan panjang dan berat itu pulang-pergi. Menyita waktu sekitar 20 menit untuk pergi saja. Dan jika hujan, maka bersiap2lah aku untuk berbasah-basah, jatuh atau tergelincir. 
Memang tak ada yang sempurna. Aku harus memutuskan.
Dan aku pilih memperturutkan hati besar ku. Tentunya setelah mengantongi izin dari keluarga, dan semangat dari para sahabat ku.
AKU PINDAH.
Pindah ke tempat yang Insyaallah akan lebih baik.
"Mudah-mudahan jiwa nekat seperti jiwaku akan diikuti segera oleh 3 saudaraku di sana. Aku menunggu kalian." hehe
Sebenarnya bukan cerita panjang lebar di atas yang menjadi inti pembicaraanku di tulisan kali ini. Begini, masalah kepindahan tak lah aku utarakan pada siapa-siapa. Hanya dadakan saja, ketika keluarga ku datang, semalam sebelumnya aku sampaikan maksud hati pada 'AMAK N ABAK' orang tua angkatku di Betung. Siangnya, langsung angkat barang, maklum Ama ku sudah datang jauh-jauh dari Bukittinggi untuk membantu mengangkat barang. Sontak, semua orang di Betung kaget. Tak menyangka mereka. Berbondong-bondong mereka ke rumah untuk melihat prosesi angkat barangku. hmmm Apa hendak dikata, aku yang terhitung primadona di kampung mereka telah membuat mereka gempar dan bertanya-tanya. Kenapa aku pindah? 
"Ingin tukar suasana saja," jawabku ringan. Terkadang aku juga menjawab dengan, "Ada nenek yang mesti aku temani, dia butuh aku untuk menghapus kesepiannya". Alasan!
Begitulah, dari hari yang tak tentu. Berganti waktu. Besoknya setelah kepindahanku, aku ke sekolah seperti bias, dengan ketegaran yang agak menggetir. Tentunya pula dengan senyum yang selalu basahi bibirku, inginku perlihatkan kepada orang-orang itu, aku bertanggung jawab dengan keputusan ku. 
Tapi di sekolah, anak-anak sudah mulai berbisik-bisik masalah kepindahan ku. entah dari mana mereka tau. Cepat sekali berkembang informasi selebriti dalam kampung seperti aku. hehe
Tak hanya hari itu, hari-hari berikutnya aku hanya disibukkan menjawab pertanyaannya mereka yang tak berganti-ganti, hanya orangnya saja yang berganti. "Kenapa pindah?"
"Huf,,,,, sepertinya mereka tak mengerti!" Batinku.

                                                                                                         SeluetChimoet_2011

Sabtu, 23 April 2011

Mandailiang pun Bertradisi 'Malamang '

Pagi buta, di kampung yang hanya diterangi dengan lampu colok itu terdengar suara kelapa bersahutan yang diparut secara tradisional. Begitu terdengar di beberapa rumah yang terhitung hanya 50 keluarga di kampung itu. Kampung yang lebih terkenal dengan nama Tinggiran, Kecamatan Sungai Aur, Pasaman Barat. Salah satu kampung yang merupakan kawasan terpencil di daerah pemekaran Pasaman.

Notabene penduduk kampung berdarah Mandailing. Mereka berbahasa Mandailing dengan menarik garis keturunan secara Patrilinial. Mereka tak bersuku melainkan bermarga. Namun jika ditanya mengenai adat dan budaya Minang, mereka tau juga.

Ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dijalankan di penduduk Minangkabau. Malamang. Memasak beras ketan putih dengan santan yang dimasukkan ke dalam buluh/bambo yang di dalamnya sudah dilingkarkan daun pisang,  yang kemudian dipanggang. Mungkin sepengetahuan kita, yang mempunyai tradisi ‘Malamang’ itu adalah orang beradat Minang saja. Tradisi yang biasa dilaksanakan ketika bulan Ramadhan, Lebaran Idul Fitri, dan Lebaran Idul Adha, juga ketika melaksanakan perkawinan. Namun itu di beberapa daerah. Sebut saja di Baso, di Payakumbuh, dan lain-lain. Itupun tidak di semua daerah di Minang, dalam cakupan ini, Sumatera Barat. Nah, tradisi ini jugalah yang ternyata juga dilaksanakan secara turun temurun di kampung yang notabene berdarah Mandailing.
***

Sementara para ibu sibuk mempersiapkan kelapa untuk santannya, bapak-bapak mempersiapkan pula buluh bambu dan tempat pemanggangan lamang. Sedangkan beras ketannya, biasanya mereka dapat dari ladang yang baru saja panen. Ada juga dari pemberian sanak keluarga yang baru panen, dan jika tidak keduanya biasanya mereka beli di pasar.

Lamang mungkin tak hanya ada di kampung terpencil ini, masih banyak daerah lain yang masih menjadikannya tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Namun, di salah satu kampung terpencil ini, ada sedikit yang membuatnya berbeda dengan lamang yang ada di daerah lain. Pasalnya, selain pembuatan yang benar-benar tradisional, bahan-bahan pun didapat dari keluarga, tetangga, bahkan hasil panen sendiri. Tak ada biaya. “Kelapa diambil dari kebun sendiri, buluh diambil di belakang rumah, beras ketan diberi oleh salah seorang saudara, dan bahan bakarnya dari kayu yang dicari di hutan,” ungkap Uci (Etek_red) Gadih, Sabtu (7/8) di dapurnya saat asik memarut kelapa.

Setelah mempersiapkan bahan, beras ketan yang telah dicuci itu pun dimasukkannya ke dalam buluh bambu beserta santannya. Kemudian siap untuk dimasak di pamedangan kayu bakar yang telah dipersiapkan.

Bertetangga mereka sama-sama menunggu lamang di belakang rumah. Begitu pula salah seorang nenek yang menunggui anaknya mempersiapkan kayu untuk dibakar. “Ini tradisi semenjak nenek moyang dulu,” ucap nenek Indah sambil duduk bersimpuh beralaskan goni di bawah pohon kelapa.

Pagi itu ia pun bersama anak, cucu, dan menantunya juga tengah mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak lamang. “Lamang menjadi salah satu kebiasaan wajib yang dilakukan oleh masyarakat desa kami menyambut datangya Puasa. Kami berbahagia. Begitu pula masyarakat yang berada di beberapa kampung ke atasnya,” katanya.

Mereka sengaja mempersiapkan memasak lamang dari subuh. Pasalnya pembuatan lamang membutuhkan waktu lama. Mereka khawatir akan turun hujan. “Kalau tidak dari pagi, nanti lamang tidak masak,” ujar Uci Gadih menjelaskan.
 
Setelah lamang masak, mereka pun menikmati bersama-sama dengan keluarga. Tak lupa pula mereka bagikan dengan sanak keluarga lainnya termasuk membagikan dengan masyarakat lain yang biasa tengah duduk santai di lepau sambil menikmati kopi. Anak-anak pun tampak sangat berbahagia menikmatinya.

Selain lamang, menurut nenek Indah, kegiatan lainnya yang dilakukan mereka menyambut bulan Ramadhan adalah melakukan pengajian setiap hari Minggu malam, beberapa minggu sebelum 1 Ramadhan datang. Ia menjelaskan, dalam kegiatan pengajian itu, masyarakat yang datang biasanya membawa “siluah” (buah tangan_red) untuk dimakan bersama setelah kegiatan pengajian selesai. “Biasanya jam 10 malam,” ujar Uci Gadih menambahkan.

Kegiatan pengajian diisi dengan beberapa acara diantaranya, ceramah oleh ustad, pengumpulan infak dan sedekah, tadarus, dan makan bersama. Nenek Indah berharap sampai nanti, sampai kampungnya ini telah diterangi dengan listrik dan jalan telah dapat dilalui dengan  mudah, tradisi perayaan penyambutan bulan Ramadhan tetap menjadi penghangat datangnya bulan suci ini. “Tradisi ini tidak boleh pudar,” ujarnya.
Setidaknya, di daerah terpencil pun kehangatan menyambut datangnya bulan Ramadhan masih sangat terasa. Entah masih akan seperti itu ketika telah menjadi daerah maju yang telah dipenuhi dengan fasilitas modern. 
                                                                                                           SerasahBetong, 2010

Jumat, 22 April 2011

Bersenandung-------

Malam 1
Hujan merintik malam
Tak ada rasa selain kegelisahan
Bias sang awan terkalahkan
Namun tak demikian dengan hati
Hati yang renta dengan kenyataan

Secercah sinar tampak oleh mata telanjang
Tersenyum beku perlihatkan keharuan
“Kau baik-baik saja nak?”
“Ayah begitu merindukanmu..merindukan berbicara bersama sinar orange matahari senja”

Malam tak lagi bersahabat
Kepulan awan hitam menjengkal semua yang ada
Tak ada yang bersisa
Percakapan berlalu
Dan malam pun makin memburu
SeluetChimoet 2009


Malam 2
2 pasang mata  tak dapat kalahkan kekuatannya
Balutan kain lusuh menghantam sukma
Tercabik oleh waktu dan tak ada yang peduli

Sejenak ku tatap dia
Mata putih
Tangan kaki membeku
Menggigil meronta atas kekejaman dunia

Tak ada waktu untuknya bersenyawa
Bersitegang dengan kata-kata
Di kala ”iya” dia harus mengangguk

2 pasang mata  tak dapat kalahkan kekuatannya
Balutan kain lusuh menghantam sukma
Tercabik oleh waktu dan tak ada yang peduli

Kini ia sendiri
Dan dia telah tiada
Adakah yang sadar akan hal yang sama?
SeluetChimoet 2009


Malam 3
Aku memilih antara 3 nama, namun keyakinan tak mampu memberikan jawaban untuk setiap pilihan.rakyat mana yang benar,rakyat yang memilih dan diberi uang, rakyat yang memilih karena haus kemajuan,atau rakyat yang ikut konfoi-konfoi di rute  jalan persidangan pesta demokrasi?
Aku tak mau memilih.aku lapar. Dan aku ingin hidup menghapus perbudakan.pernahkah ia bercerita tentang perbudakan harta?tentang Rasulullah yang hapuskan perbudakan, bukan karena kedudukan. Dan bumi kini murung menanti perbudakan dihapuskan.melepas belenggu perbudakan.
Perbudakan
Perbudakan
SeluetChimoet 2009

Malam Setengah
Haus mata dan hati bernanar rindu
Kucabik sukma birkan kelusuhan hantui jiwa ku...
Malam kali ini setengah ku rasa lebih kelabu dari malam sebelumnya
Jauh terasa ada pula yang mulai beku
Tapi bukan dia menuju sang Kuasa...
Tapi dia jauh tak lagi bersama,,,
Jauh untuk kembali
Bukan jauh untuk sepi sendiri

Wahai sukma nan jauh
Hantarkan kembali jiwa ku
Hapuskan nanar nan bisu
Dan kita akan kembali membulatkan malam
Tak lagi setengah dan nanar...
                                                                                                       SeluetChimoet 2009

Kamis, 21 April 2011

zona baru

21 April 2011
kebahagiaan terindah
di antara kerumunan yang hanya buat kegalauan
q sendiri dengan jalan tak bertepi
tapi kini,,,,
q coba mencari zona aman q sendiri,,,
tanpa sesiapa
hanya ada yang biasa,,,,

malam yang bersabar
angin yang kencang
dan keheningan yang bekukan


aq_zonaQ saja

About Me

Foto saya
aq seorang gadis Minang yang lahir di antara 6 saudara2 q sebagai anak ke-5. Lahir dari keluarga sederhana yang mengajarkan q bahwa hidup itu adalah usaha n keyakinan 'Kun faya kun'...bagaimana pun keadaan, jika mau berusaha untuk merubahnya,,,maka pasti akan berubah,,,seperti sekarang,seperti yang keluarga q rasakan. walaupun sekarang 'Apa' telah tiada, tapi msh ada 'Ama' tercinta, 4 kakak, 2 adik, n 10 ponkan, serta MC n Naxyamie yang mengelilingi q,,,aq bahagia ada mereka...

Template by: Free Blog Templates