Pengikut

    Diberdayakan oleh Blogger.

SeluetChimoet

Selamat mengikuti perjalanan kata Chimoet ea..... jangan pernah bosan. Dan ingat! Saya masih belajar, jauh dari kesempurnaan. Dan semoga tulisan-tulisan saya berguna bagi sobt semua,,, ^_^

Entri Populer

Sabtu, 23 April 2011

Mandailiang pun Bertradisi 'Malamang '

Pagi buta, di kampung yang hanya diterangi dengan lampu colok itu terdengar suara kelapa bersahutan yang diparut secara tradisional. Begitu terdengar di beberapa rumah yang terhitung hanya 50 keluarga di kampung itu. Kampung yang lebih terkenal dengan nama Tinggiran, Kecamatan Sungai Aur, Pasaman Barat. Salah satu kampung yang merupakan kawasan terpencil di daerah pemekaran Pasaman.

Notabene penduduk kampung berdarah Mandailing. Mereka berbahasa Mandailing dengan menarik garis keturunan secara Patrilinial. Mereka tak bersuku melainkan bermarga. Namun jika ditanya mengenai adat dan budaya Minang, mereka tau juga.

Ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dijalankan di penduduk Minangkabau. Malamang. Memasak beras ketan putih dengan santan yang dimasukkan ke dalam buluh/bambo yang di dalamnya sudah dilingkarkan daun pisang,  yang kemudian dipanggang. Mungkin sepengetahuan kita, yang mempunyai tradisi ‘Malamang’ itu adalah orang beradat Minang saja. Tradisi yang biasa dilaksanakan ketika bulan Ramadhan, Lebaran Idul Fitri, dan Lebaran Idul Adha, juga ketika melaksanakan perkawinan. Namun itu di beberapa daerah. Sebut saja di Baso, di Payakumbuh, dan lain-lain. Itupun tidak di semua daerah di Minang, dalam cakupan ini, Sumatera Barat. Nah, tradisi ini jugalah yang ternyata juga dilaksanakan secara turun temurun di kampung yang notabene berdarah Mandailing.
***

Sementara para ibu sibuk mempersiapkan kelapa untuk santannya, bapak-bapak mempersiapkan pula buluh bambu dan tempat pemanggangan lamang. Sedangkan beras ketannya, biasanya mereka dapat dari ladang yang baru saja panen. Ada juga dari pemberian sanak keluarga yang baru panen, dan jika tidak keduanya biasanya mereka beli di pasar.

Lamang mungkin tak hanya ada di kampung terpencil ini, masih banyak daerah lain yang masih menjadikannya tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan. Namun, di salah satu kampung terpencil ini, ada sedikit yang membuatnya berbeda dengan lamang yang ada di daerah lain. Pasalnya, selain pembuatan yang benar-benar tradisional, bahan-bahan pun didapat dari keluarga, tetangga, bahkan hasil panen sendiri. Tak ada biaya. “Kelapa diambil dari kebun sendiri, buluh diambil di belakang rumah, beras ketan diberi oleh salah seorang saudara, dan bahan bakarnya dari kayu yang dicari di hutan,” ungkap Uci (Etek_red) Gadih, Sabtu (7/8) di dapurnya saat asik memarut kelapa.

Setelah mempersiapkan bahan, beras ketan yang telah dicuci itu pun dimasukkannya ke dalam buluh bambu beserta santannya. Kemudian siap untuk dimasak di pamedangan kayu bakar yang telah dipersiapkan.

Bertetangga mereka sama-sama menunggu lamang di belakang rumah. Begitu pula salah seorang nenek yang menunggui anaknya mempersiapkan kayu untuk dibakar. “Ini tradisi semenjak nenek moyang dulu,” ucap nenek Indah sambil duduk bersimpuh beralaskan goni di bawah pohon kelapa.

Pagi itu ia pun bersama anak, cucu, dan menantunya juga tengah mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak lamang. “Lamang menjadi salah satu kebiasaan wajib yang dilakukan oleh masyarakat desa kami menyambut datangya Puasa. Kami berbahagia. Begitu pula masyarakat yang berada di beberapa kampung ke atasnya,” katanya.

Mereka sengaja mempersiapkan memasak lamang dari subuh. Pasalnya pembuatan lamang membutuhkan waktu lama. Mereka khawatir akan turun hujan. “Kalau tidak dari pagi, nanti lamang tidak masak,” ujar Uci Gadih menjelaskan.
 
Setelah lamang masak, mereka pun menikmati bersama-sama dengan keluarga. Tak lupa pula mereka bagikan dengan sanak keluarga lainnya termasuk membagikan dengan masyarakat lain yang biasa tengah duduk santai di lepau sambil menikmati kopi. Anak-anak pun tampak sangat berbahagia menikmatinya.

Selain lamang, menurut nenek Indah, kegiatan lainnya yang dilakukan mereka menyambut bulan Ramadhan adalah melakukan pengajian setiap hari Minggu malam, beberapa minggu sebelum 1 Ramadhan datang. Ia menjelaskan, dalam kegiatan pengajian itu, masyarakat yang datang biasanya membawa “siluah” (buah tangan_red) untuk dimakan bersama setelah kegiatan pengajian selesai. “Biasanya jam 10 malam,” ujar Uci Gadih menambahkan.

Kegiatan pengajian diisi dengan beberapa acara diantaranya, ceramah oleh ustad, pengumpulan infak dan sedekah, tadarus, dan makan bersama. Nenek Indah berharap sampai nanti, sampai kampungnya ini telah diterangi dengan listrik dan jalan telah dapat dilalui dengan  mudah, tradisi perayaan penyambutan bulan Ramadhan tetap menjadi penghangat datangnya bulan suci ini. “Tradisi ini tidak boleh pudar,” ujarnya.
Setidaknya, di daerah terpencil pun kehangatan menyambut datangnya bulan Ramadhan masih sangat terasa. Entah masih akan seperti itu ketika telah menjadi daerah maju yang telah dipenuhi dengan fasilitas modern. 
                                                                                                           SerasahBetong, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
aq seorang gadis Minang yang lahir di antara 6 saudara2 q sebagai anak ke-5. Lahir dari keluarga sederhana yang mengajarkan q bahwa hidup itu adalah usaha n keyakinan 'Kun faya kun'...bagaimana pun keadaan, jika mau berusaha untuk merubahnya,,,maka pasti akan berubah,,,seperti sekarang,seperti yang keluarga q rasakan. walaupun sekarang 'Apa' telah tiada, tapi msh ada 'Ama' tercinta, 4 kakak, 2 adik, n 10 ponkan, serta MC n Naxyamie yang mengelilingi q,,,aq bahagia ada mereka...

Template by: Free Blog Templates